Contoh 1
SOSIOLOGI UMUM
PRAKTIKUM KE - 6
Selasa, 12 Oktober 2010
Nama / NRP : Ade Azis Kusnaya / A34100097
Nama Asisten / NRP : Hilda Utami Anwar / F24080027
Topik : Group Sosial
SISTEM PONDOK
Sebagian migran sirkuler berasal dari rumah tangga desa. Sebelum mereka melakukan sirkulasi desa kota mereka dapat digolongkan dalam lapisan yang kurang mampu. Keadaan ini mendorong mereka untuk melakukan usaha kecil-kecilan dengan modal yang tidak begitu besar dan peralatan yang tidak mahal.Migran sirkuler pernah bekerja sebagai karyawan dalam proses pembuatan barang sehingga mempunyai pengalaman cukup mengenai seluk-beluk poses produksi. Keterbatasan modal, keterbatasan kemampuan dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi, mereka imbangi dengan melaksanakan asas kerukunan atau asas kegotong royongan. Jenis-jenis yang termasuk ke dalam usaha ini antara lain : usaha membuat dan menjual makanan atau minuman murah, usaha transport jarak dekat dengan menggunakan tenaga bukan mesin, dan usaha pengumpulan barang bekas untuk didaur ulang. Usaha jenis ini bersifat padat karya sehingga diperlukan keterampilan dalam pengelolaan hubungan antar manusianya. Biasanya azas kerukunan dan kekeluargaan menjadi sendi utama walaupun tujuan utama sistem pondok adalah keuntungan ekonomi. Azas kerukunan dan kekeluargaan dapat terlaksana karena dengan melaksanakan azas tersebut semua pihak merasa mendapat keuntungan. Dipandang dari besarnya sumbangan tenaga keja migran sirkuler dalam proses produksi dan penjualan hasil, sistem pondok dapat dikelompokkan mejadi 4 kelompok :
1. Sistem pondok dimana setiap anggota mempunyai kedudukan yang sama. Setiap orang mempunyai andil yang sama terhadap usaha bersama. Dalam sistem pondok ini tidak dikenal majikan dan juga tidak ada karyawan. Kelompok ini dibentuk atas dasar azas kegotongoyongan para anggota. jumlah anggota kelompok rata-rata kecil, antara 8-12 orang. Hubungan antar kelompok kuat, terdapat saling percayadiantara sesama anggota. Sistem pondok ini disebut dengan istilah sistem pondok gotong royong.
2. Sistem pondok dimana kedudukan pemilik pondok (pengusaha pondok) berkedudukan lebih mirip ”kepala rumah tangga” dan kedudukan para penghuni pondok boro mirip ”anggota rumah tangga” daripada karyawan. Jumlah anggota biasanya sedikit dan belum ada pembagian tugas . Antara pemilik pondok boro dengan para pembantunya terdapat hubungan yang dilandasi “azas kekeluargaan”. Sistem ini biasanya dilaksanakan dalam pondok boro yang menggunakan tenaga migran sirkuler yang berasal dari desa yang jauh. Dalam proses pembuatan barang belum digunakannya teknologi. Hubungan-hubungan dalam sistem pondok ini mirip dengan hubungan dalam rumah tangga, maka sistem ini disebut “sistem pondok rumah tangga”.
3. Sistem pondok dimana telah dikenal deferensiasi tenaga yang bertugas dalam proses produksi dengan tenaga yang bertugas dalam pemasaran hasil produksi. Kedudukan pemilik pondok boro lebih serupa dengan kedudukan seorang “majikan” dalam perusahaan perseorangan. Hubungan majikan dengan karyawan lebih erat daripada hubungan majikan dengan penjual. Dalam sistem ini berlaku azas kekeluargaan. Sistem pondok ini juga telah menggunakan teknologi dan mempunyai sejumlah karyawan dan penjual. Oleh kaena itu, sistem pondok ini lebih mirip denga perusahaan perseorangan(“sistem pondok usaha perseorangan”).
4. Sistem pondok dimana pemilik pondok tidak melibatkan diri dalam kegiatan produksi ataupun pemasaran barang. Para migran sirkuler yang tinggal di pondok boro berperan sebagai penyewa. Dalam memproduksi barang dagangan mereka menggunakan mesin dan peralatan milik si pemilik pondok boro. Karena hubungan pemilik pondok boro dengan para migran sirkuler adalah hubungan sewa menyewa maka hubungan tersebut agak renggang. Pemilik pondok berperan sebagai majikan dan para migran sirkuler sebagai karyawan. Karena ditandai dengan hubungan sewa-menyewa, maka sistem ini disebut ”sistem pondok sewa”.
Selain keempat sistem itu terdapat sistem pondok yang merupakan campuran. Misalnya, dalam pondok usaha krupuk terdapat pemisahan antara tenaga pembuat dan tenaga penjual. Ada pula sistem pondok yang tidak mempunyai karyawan. Dalam berbagai macam pondok sering dilengkapi dengan semacam kantin atau warung makan yang diselenggarakan oleh pihak pemilik pondok boro. Hampir semua pemilik pondok boro berperan sebagai pelindung para penghuni pondok. Dilihat dari jenis kegiatan penghuninya pondok boro dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu: pondok boro buruh, pondok boro penjual dan pondok boro produksi.
SOSIOLOGI UMUM
PRAKTIKUM KE - 4
Selasa, 21 September 2010
Nama / NRP : Ade Azis Kusnaya / A34100097
Nama Asisten / NRP : Hilda Utami Anwar / F24080027
Tolong Bantu Perbaiki Pertanian Kami
Pertemuan antara beberapa jagawana yang dipimpin Ade Suharso dengan beberapa tokoh masyarakat di Kondolo berjalan lancar. Kepala Dusun Kandolo, Manap, mengungkapkan bahwa mereka terpaksa membuka hutan untuk mempertahankan hidup karena sawah mereka dilanda kekeringan dan diserang hama tikus. Andi Mappotolo mengatakan bahwa petugas hendaknya tidak melarang warga yang benar-benar mencari kayu untuk dibuat arang. Petugas yang akan melakukan penyelamatan di kawasan hutan konservasi sering mendapat perlawanan dari warga setempat. Ade Suharso mengatakan bahwa keteganan yang terjadi antara petugas di lapangan dengan warga masyarakat karean putusnya komunikasi dua belah pihak. Tonny Suhartono mengatakan bahwa pengelolaan TN Kutai selama 20 tahun terakhir tidak pernah memperhatikan community development terhadap pemukiman di dalam kawasan. Masyarakat di dalam kawasan sulit dikendalikan karena mereka tidak tersentuh pembinaan. Pemukim di kawasan Kutai bukan hanya ratusan orang, tetapi sampai kini mencapai 15.000 orang. Warga yang mencari kayu hanya bisa dihitung jari, tetapi yang nampak justru aktivitas perkebunan rakyat, penebangan dan pengangkutan kayu-kayu ulin, pengaplingan lahan dan penguasann tanah. Bahrudin, warga asal Bontang, mengaku bahwa ia mendapat surat pembagian lahan dari Kades Teluk Pandan seluas satu hektar. Maraknya aksi penganbilan lahan bersamaan dengan adanya proyek pengaspalan jalan Bontang-Sangatta dan pemasangan tiang listrik yang menghubungkan kedua daerah tersebut. Sasaran kelompok masyarakat ini adalah untuk mendapatkan ganti rugi. Menurut Tony, warga setempat dengan warga sekitar sudah ada saling kerja sama dalam pembagian lahan TN Kutai dan kita sudah mengetahui siapa yang menjadi pelaku perambahan di hutan ini. Sangatta dan Bontang, dua kota penghasil “dollar”, yakni adanya PT. Kaltim Prima Coal, PT. Pupuk Kaltim, dan PT. Badak NGL Co., adalah magnet bagi para pencari kerja untuk terus berdatangan. Menurut Adief Mulyadi Persoalan TN Kutai tidak bisa dilihat secara parsial. Kondisi yang terjadi sekarang ini merupakan akumulasi persoalan sejak awal kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Kebijakan tiga desa definitif tidak disesuaikan dengan kebijakan pengelolaan TN Kutai. Akibatnya, sampai kini tidak ada batas yang jelas wilayah – wilayah desa mereka dan kawasan TN Kutai sendiri. Keadaan ini membuat hubungan antara jagawana dengan warga menjadi jarak, bahkan tidak jarang saling terjadi berbenturan kepentingan
Contoh 2
SOSIOLOGI UMUM
PRAKTIKUM KE - 3
Selasa, 21 September 2010
Nama / NRP : Ade Azis Kusnaya / A34100097
Nama Asisten / NRP : Hilda Utami Anwar / F24080027
Struktur Interaksi Kelompok Elit dalam Pembangunan
Penelitian di Tiga Desa Santri
Dalam percakapan sehari-hari, istilah elit sering berkonotasi negatif. Tetapi dalam sosiologi, elit didefinisikan sebagai anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya serta berkuasa. Kelahiran kelompok elit dalam masyarakat biasanya dihubungkan dengan dua pendapat, yaitu kelompok elit lahir dari proses yang alami dan kelompok elit lahir akibat dari kompleksitas organisasi sosial, terutama dalam menjawab tantangan heterogenitas masalah ekonomi dan politik. Di pedesaan, jumlah anggota kelompok elit biasanya tidak banyak. Kelompok elit sangat potensial sebagai agen perubahan, terutama dalam fungsinya yang menghubungkan antara kemauan pemerintah dan kepentingan anggota masyarakat. Studi masalah elit dalam kaitannya dengan aktivitas pembangunan seharusnya perlu mencakup pula peranan elit yang berada di luar garis birokrasi. Fenomena desa santri dalam studi masalah pembangunan dan struktur interaksi kelompok elit tampil menjadi episode penelitian yang menarik karena di desa lazimnya masih ada dominasi figur tokoh agama. Meskipun perencanaan, organisasi, pengawasan serta alokasi dana pembangunan pedesaan masih lebih banyak ditentukan atau dicantumkan oleh pemerintah pusat, namun sebenarnya dalam implementasi masih melibatkan anggota masyarakat dan memberi porsi lumayan pada potensi lokal. Diantara kelompok elit terdapat perbedaan kesempatan dan kemampuan dalam mengakomodasi proyek-proyek pembangunan yang terintrodusir di desanya maka kerap terlihat peranan mereka dalam proses tersebut juga bervariasi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi struktur interaksi elit dalam mengakomodasi implementasi proyek pembangunan pedesaan. Salah satu persoalan metodologi yang muncul tatkala penelitian ini diselenggarakan adalah memilih atau menentukan proyek pembangunan pedesaan yang dimasukkan atau dikesampingkan ke dalam analisa. Penelitiain ini hanya berkonsentrasi pada tiga macam proyek pembangunan, yaitu : Supra Insus Padi, Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), dan Bantuan Desa. Secara teoritis dalam setiap interaksi ditemukan dua aspek, yaitu konflik dan integrasi. Tetapi untuk membatasi lingkup analisa dan mencegah kompleksitas segi yang perlu dikaji, penelitian ini hanya mengkaji aspek integrasi. Ada tiga macam pendekatan yang lazim digunakan peneliti
sosial untuk mengidentifikasi kelompok elit, yaitu positional approach, reputasional approach, dan decional approach. Pemuka agama dan petani kaya oleh masyarakat diakui kepemimpinannya. Dua alasan penting mengapa tiga desa tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian, yaitu banyak jumlah anggota masyarakat yang menjadi pengikut thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyah dan anggota masyarakat ketiga desa tersebut memiliki daya dukung yang kuat terhadap ketahanan organisasi sosial politik Islam. Analisa jaringan digunakan untuk menerangkan struktur interaksi kelompok elit dalam mengakomodasi proyek pembangunan pedesaan. Dalam menghitung data, penelitian ini menggunakan program komputer network analysis yang dirancang oleh Robert Kylberg (1986) yang dapat menunjukkan tingkat jangkauan antar aktor, jarak hubungan, dan jumlah klik-klik dalam jaringan sehingga status dan peranan masing-masing elit dapat diidentifikasi. Dalam upaya menerangkan struktur kelompok elit dalam pembangunan, langkah awal yang dilakukan oleh penelitian ini adalah bertanya kepada setiap responden siapa yang paling sering diajak mendiskusikan atau memecahkan persoalan yang berkaitan dengan implementasi proyek-proyek pembangunan pedesaan. Sejumlah informasi penting yang diperoleh dari pembacaan perhitungan data, yaitu hampir semua anggota kelompok elit saling berinteraksi membentuk jaringan sosiometris, derajat integrasi elit pada jaringan interaksinya cukup bervariasi, jumlah klik di masing-masing desa yang terpilih sebagai lokasi penelitian juga berbeda-beda, dan kategori peranan elit dalam jaringan juga bervariasi. Kelompok elit pamong desa memliki kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan kiprah yang berkaitan dengan implementasi proyek pembangunan. Sebaliknya kesempatan yang dimiliki oleh kelompok elit pemuka agama hanya sempit dan terbatas.
Analisis Bacaan I
• Asosiatif
1. Kerjasama
- Ade Suharso dengan tokoh masyarakat dalam mencari jalan keluar dalam masalah penebangan hutan.
- Warga setempat dengan orang luar tentang pembagian lahan TN Kutai
- Tokoh masyarakat menjadi sumber informasi bagi warganya untuk terus melakukan pengkaplingan.
2. Akomodasi
- Petugas jagawana mendatangani Kades Sangkimah untuk meluruskan persoalan temuan kayu.
3. Asimilasi
- Warga desa yang awalnya bekerja sebagai petani bersama-sama merubah pekerjaan mereka menjadi pecari kayu karena sawah mereka kekeringan.
• Dissosiatif
1. Persaingan
- Bantuan dari mitra TN Kutai untuk pembinaan masyarakat hanya di daerah pinggiran buffer zone TN Kutai
2. Kontravensi
- Andi Mappotolo menolak petugas untuk melarang warga yang benar-benar hanya mencari kayu untuk membuat arang kayu.
3. Konflik
- Para petugas jagawana dihadang massa dan diancam kendaraan mobil mereka akan dibakar oleh massa.
Analisis Bacaan II
• Asosiatif
1. Kerjasama
- Anggota kelompok elit saling berinteraksi membentuk suatu jaringan sosiometris.
- Pemerintah pusat bekerjasama dengan anggota masyarakat dalam perencanaan, organisasi, pengawasan, dan alokasi dana pembangunan.
- Kerjasama antara LMD (Lembaga Musyawarah Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) dalam menyusun dan mengevaluasi implementasi.
2. Akomodasi
- Kelompok elit menjadi jembatan (pihak ketiga) yang menghubungkan antara kemauan pemerintah dengan kepentingan masyarakat.
- Dalam tradisi thoriqot terdapat keharusan bagi pengikut untuk taat kepada guru.
3. Asimilasi
- Anggota masyarakat menjadi pengikut thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyah.
• Disosiatif
1. Persaingan
- Adanya perbedaan kesempatan dan kemampuan antara kelompok elit dalam mengakomodasi proyek-proyek pembangunan sehingga peranan mereka dalam proses bervariasi.
- Persaingan antar kelompok pamong desa, pemuka agama, dan petani kaya.
- Persaingan antara partai-partai politik dalam memperoleh jumlah suara
2. Kontravensi
- Pamong desa lebih banyak menjalin interaksi dibanding dengan petani kaya dan pemuka agama.
No comments:
Post a Comment